Film yang diangkat dari novel karya Muhidin M Dahlan ini sedang banyak diperbincangkan oleh khalayak. Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo disebut salah satu karya yang berani.
Film yang menceritakan tokoh Kiran, seorang mahasiswi dari keluarga miskin yang taat beragama, pintar juga kritis. Kiran mencari ilmu pada sebuah pondok pesantren. Namun pimpinan pondok tersebut ingin menjadikannya istri ketiga. Kiran tidak mau, karena bertentangan dengan prinsipnya. Tapi dia difitnah telah merayu pimpinan pondok tersebut. Orang tua dan santri pondok itu menyalahkan sikap Kiran, hingga dia dimusuhi.
Kiran yang kehilangan kepercayaan membuat dia dendam dengan orang yang bersembunyi di balik agama. Dia mendapat pelecehan seksual dari dosenya dan teman kuliah yang dia anggap selama ini alim dan taat agama. Kiran mencari para pejabat dan orang-orang yang berkedok baik menggunakan agama. Hingga dia merekam salah satu calon pejabat saat satu kamar. Namun upayanya dihadapi tantangan hingga penyiksaan.
Film ini mendapat komentar yang beragam. Baik dari segi agama, alur cerita, dan keberanian mengangkat isu dalam film ini. Tak ada gading yang tak retak, setiap karya perlu diberikan masukan agar terus menghasilkan karya-karya terbaik. Berikut ulasan Film Tuhan Izinkan Aku Berdosa dalam Kacamata Islam :
Judul yang Kurang Pantas
Judul pada sebuah
karya, baik itu karya fiksi atau non fiksi, karya tulis atau non tulis adalah
daya tarik pertama bagi penikmat karya tersebut. Sehingga si pemilik karya akan
mencari judul semenarik mungkin, judul yang mempunyai daya jual, dan judul yang
memberikan nilai lebih pada karyanya. Ini tidak salah. Namun perlu kita
renungi, bahwa judul film ini kurang pantas.
Setiap manusia memilih pilihan hidupnya, ingin berdosa atau mencari pahala. Sedangkan agama sudah memberi tuntunan mana jalan yang baik dan mana jalan yang buruk. Setiap manusia memilih jalannya masing-masing dengan siap menanggung segala risikonya. Judul film ini "Tuhan Izinkan Aku Berdosa" memiliki multitafsir. Menurut saya sebaiknya diganti saja dengan “Tuhan Maafkan Aku Berdosa”.
Penggunaan Nama Sahabat Nabi
Salah satu tokoh dalam film ini adalah nama Sahabat Nabi Muhammad yang Mulia, yaitu Abu Darda'. Tokoh yang bernama Abu Darda’ dalam film ini berperan sebagai pimpinan pondok pesantren. Namun sangat disayangkan pada karakternya yang bertolak belakang dengan karakter asli Sahabat Nabi ini. Dalam film ini, tokoh Abu Darda’ berkarakter pembohong, yang tidak mengakui bahwa dia pernah menelpon tokoh Kiran. Ketika Kiran menyatakan kebenaran, tokoh Abu Darda’ membela diri dengan berbohong dan bersembunyi dengan dalil-dalil agama. Selain itu pada ending film ini, tokoh Abu Darda’ ditangkap polisi dengan tuduhan teroris. Hal ini sangat miris sekali.
Bagi saya jika memang film ini diangkat dari kisah nyata, sebaiknya nama tokoh bisa diganti. Karena Abu Darda’ adalah sahabat Nabi yang Mulia, bukan seperti apa yang ada pada film ini. Sehingga tidak ada polemik terhadap nama tokoh.
Konsep Ketuhanan
Tokoh Kiran yang
dihadapkan cobaan berat, difitnah, dan kehilangan kepercayaan dari keluarganya,
sehingga tidak ada lagi yang berpihak pada dirinya. Bahkan tokoh Arulpun
mengkhianatinya. Sehingga Kiran mempertanyakan di mana Tuhan saat dia dirundung
masalah, menurut Kiran ia sudah mengabdikan hidupnya untuk Tuhan, tapi Tuhan
tidak ada membantunya. Kiran menyalahkan Tuhan pada saat ia kritis.
Sehingga ia memilih
jalan menjadi wanita tidak benar. Apakah dengan menjadi wanita tidak benar lalu
masalahnya selesai? Tidak. Bahkan semakin rumit. Tokoh Kiran juga menantang Tuhan
dan bahkan ia mengatakan bahwa manusia juga bisa jadi Tuhan.
Tentu ini adalah hal yang salah. Sudah semestinya kita manusia hidup hanya untuk Tuhan, bukannya tujuan penciptaan kita adalah untuk beribadah pada Tuhan? Perlu ada bagian film yang memberikan penguatan dan pencerahan bahwa apa yang dipertanyakan Kiran adalah salah. Sehingga konsep ketuhanan clear dan tidak abu-abu.
Radikal dan Pondok Pesantren
Diakhir film, diceritakan bahwa pondok pesantren tempat Kiran menuntut ilmu dan pondok pesantren panutan masyarakat itu digrebrek oleh densus 88, bahwa pondok pesantren tersebut adalah teroris. Secara umum, hal ini bisa saja terjadi. Namun pada film ini tidak memberikan penjelasan mengapa pondok pesantren itu menjadi teroris. Kegiatan apa yang mencirikan pondok itu teroris juga tidak diceritakan. Hal ini akan menjadi stigma negatif pada pondok pesantren. Masih banyak pondok pesantren yang mendukung pemerintah, bekerjasama dengan pemerintah, dan bahkan melahirkan para tokoh pemimpin bangsa.
Gadis Berjilbab
Tokoh Kiran setelah
menjadi wanita tidak benar dan asik bergoyang di diskotik dengan masih
menggunakan jilbab. Tentu hal ini menjadi rancu. Sebagaimana kita tahu jilbab
adalah perintah agama untuk menutup aurat. Ada kerancuan gadis berjilbab asik
bergoyang dan mabuk di diskotik, bahkan sebagai wanita yang tidak benar. Pada
bagian lain film ini, tokoh Kiran yang berjilbab dalam/panjang, tapi memilih
tempat tinggal (kos) pada lingkungan tidak baik hanya dengan alasan sewa yang
murah. Apakah tidak ada tempat lain yang murah dan lingkungan yang baik? Pada
lingkungan itu, hanya dialah satu-satunya gadis berjilbab.